Suka-Duka Belajar Komputer

Suka-Duka Belajar Komputer








Tagdos, komputer, linux, opensource, ubuntu, windows


Belajar KomputerPerkenalan pertama kali aku bersama dengan komputer berlangsung terhadap selagi aku masuk di Madrasah Aliyah kira-kira th. 1995. Saat itu, tersedia komputer jadul di tempat tinggal yang masih menggunakan DOS dan belum dulu disentuh, karena belum tersedia yang mampu mengoperasikan. Beruntung, kakak sepupu aku yang tinggal di Malang dulu belajar komputer. Dari beliau, aku belajar sedikit demi sedikit membangun keberanian untuk membangkitkan komputer dan berhadapan bersama dengan keyboard yang selagi itu belum dilengkapi bersama dengan mouse. Seiring waktu, tak terasa aku terasa miliki kebiasaan mengoperasikan DOS, WordStar, dBase, dan lain-lain bersama dengan selingan bermain game-game sederhana.





DOS

Sistem Operasi DOS



WordStar

Program WordStar, cikal akan Word Processing



Tahun 1997, aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan belajar di Al-Azhar University Kairo Mesir. Kali pertama kali menginjakkan kaki di sana, aku terperangah melihat komputer yang tersedia di tidak benar satu tempat tinggal kakak senior. “Kok penampilan layarnya bagus banget, dan berwarna-warni? Pasti harganya terlalu mahal!” pikir saya. Kekaguman aku timbul karena komputer yang biasa aku menggunakan di tempat tinggal cuma menampilkan layar berwarna hitam bersama dengan teks berwarna putih atau hijau muda. Sementara, untuk menampilkan foto dan warna wajib berkali-kali rubah disket yang selagi itu masih menggunakan ukuran 5 1/4″. Itupun tidak sejernih penampilan yang aku melihat di komputer kakak senior.



Windows95

Sistem Operasi Windows95



Akhirnya, aku menjadi sering mampir di tempat tinggal kakak senior saya. Selain untuk bimbingan diktat kuliah, juga untuk membuat sembuh rasa penasaran aku terhadap komputer itu, meskipun cuma sekadar menemani beliau mengoperasikan komputer dan nimbrung untuk mendengarkan musik. Singkat kata, aku baru mengetahui bahwa komputer itu udah menggunakan proses operasi Windows versi Windows ’95.



Hari-hari berlalu, sampai mampir kesempatan aku dan kawan seangkatan mengikuti diklat komputer singkat yang diselenggarakan oleh ikatan alumni almamater pesantren saya. Tujuan utamanya, proses regenerasi untuk buat persiapan kader pengelola buletin almamater di Kairo yang terbit tiap-tiap bulan. Saya dan rekan-rekan terlalu antusias bersama dengan aktivitas tersebut. Kami belajar banyak, terasa dari proses penginstalan, buat persiapan software pendukung, pengetikan dan desain sederhana, sampai proses pencarian knowledge di internet. Kegiatan tersebut menjadi gerbang utama yang memotivasi diri aku untuk lebih mendalami ilmu-ilmu komputer. Semangat belajar itu cuma mampu aku salurkan melalui banyak membaca buku dan artikel mengenai komputer, tetapi tidak mampu aku perdalam secara praktik karena keterbatasan biaya. Alhamdulillah, terhadap akhirnya–melalui suntikan dana dari orang tua–saya mampu punyai komputer sendiri, sehingga aktifitas belajar komputer lebih optimal.



Semangat menggebu-gebu untuk menguasai pengetahuan komputer dan rasa keingintahuan yang tinggi sebabkan aku lebih disiplin belajar. Hingga suatu ketika–dengan rahmat Allah–saya dipercaya untuk ikut andil dalam kepengurusan Keluarga Pelajar Jakarta (KPJ) dan Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang merupakan organisasi induk kemahasiswaan di Kairo. Tugas aku tidak jauh-jauh dari perihal yang terjalin bersama dengan komputer, meski aku wajib hadapi komputer tua yang masih menjalankan proses operasi Windows 3.1 penerus generasi DOS. Meski demikian, banyak hikmah yang mampu aku petik, di antaranya aku berkesempatan untuk beradaptasi bersama dengan lingkungan proses operasi dari terasa yang tertua sampai yang terbaru. Alhasil, cakrawala keilmuan aku mampu runut, aku berusaha mencoba semua, terasa dari DOS, Windows 3.1, Windows ’95, Windows ’98, Windows Me, Windows 2000, Windows XP, Windows Vista, sampai kini Windows7.



Windows3.1

Desktop Windows 3.1



Di tengah perjalanan, dikala fase menggunakan Windows 2000 ke XP, aku terobsesi oleh kakak-kakak senior yang terasa beralih ke Linux, sebuah proses operasi opensource yang gratis dan punyai penampilan terlalu unik. Saat itu tengah booming penggunaan desktop Gnome dan Enlightment. Saya tertantang untuk ikut mencicipi proses operasi tersebut yang terlalu baru dan belum aku kuasai.



Gnome

Tampilan Terbaru Desktop Gnome 3



Enlightment

Desktop Terbaru Enlightment E17



Untuk menjawab rasa penasaran aku itu, rintangan yang aku hadapi tidak sedikit. Saat itu komunitas pengguna Linux di Kairo masih terlalu minim. Informasi dan referensi yang aku butuhkan untuk belajar Linux terlalu sukar didapat. Proses penginstalan yang rumit–masih bersama dengan mode teks–juga menjadi rintangan yang sering sebabkan pening kepala. Apalagi, aku tidak menguasai bahasa-bahasa pemrograman. Setelah ‘merusakkan’ dua harddisk karena berkali-kali aku partisi untuk mencoba menginstall Slackware dan Redhat, aku menjadi apatis dan hampir putus asa. Tetapi, “kok aku masih penasaran ya?“. Akhirnya aku putuskan belanja harddisk untuk ketiga kalinya.



Dengan impuls pantang menyerah, aku terus mencoba. Tak juga aku bolak-balik ke tempat tinggal kakak senior yang udah menggunakan Slackware untuk bertanya. Tak juga pulsa HP dan telepon yang udah aku keluarkan untuk berkonsultasi. Belum lagi, besarnya bandwitch internet yang tersedot oleh komputer aku fungsi mencari referensi di internet bersama dengan bermodalkan kamus bhs Inggris. Padahal, selagi itu pulsa internet di Kairo masih relatif mahal. Setelah menanyakan dan membaca sana-sini, alhamdulillah pada akhirnya aku sukses menginstall Linux Redhat untuk pertama kalinya. Saya lupa rilis nomor berapa selagi itu. Saya terus belajar dan berusaha beradaptasi bersama dengan lingkungan desktop Linux.



Kegemaran aku itu terus berlanjut sampai pulang ke tanah air. Beberapa distro besar udah dulu aku cicipi, perumpamaan Mandrake (sekarang beralih nama menjadi Mandriva), Slackware, Redhat (sekarang menjadi tidak free karena khusus untuk kalangan corporate. Alternatif distro Redhat yang masih free adalah distro Fedora berbasis komunitas), OpenSuse, Debian, Knoppix, Ubuntu, LinuxMint, dan lain-lain. Pada dasarnya, aku tidak fanatik terhadap satu distro (dari kata distribution, sebutan untuk distribusi bermacam varian Linux), tetapi terhadap pada akhirnya aku mengambil keputusan untuk menggunakan Ubuntu. Ada apa bersama dengan Ubuntu? Jawabannya insya Allah akan aku bahas dalam posting berikutnya, mengenai bermacam keistimewaan Ubuntu.



Ubuntu

Desktop kerja Ubuntuku bersama dengan Unity



Saya terasa mengikuti pertumbuhan Ubuntu sejak versi 7.04 (Feisty Fawn) yang dirilis terhadap tanggal 19 Oktober 2007, dan berlanjut sampai saat ini (Ubuntu 11.10, a.k.a Oneiric Ocelot). Memang, di tengah perjalanan aku kadang waktu tertarik untuk mencoba distro-distro lainnya, tetapi terhadap pada akhirnya aku kembali kembali ke Ubuntu. Hingga kini, aku masih setia dan terasa nyaman bersama dengan Ubuntu, karena Ubuntu mampu memenuhi segala keperluan komputerisasi saya. Kalaupun terpaksa kembali ke Windows, perihal itu sekadar keperluan terhubung aplikasi-aplikasi khusus yang dibutuhkan dalam pekerjaan aku dan cuma mampu dikerjakan oleh Windows. Nah, bagaimana bersama dengan anda?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RUBI’ Ajari Anak Pinggiran Kota Semarang Belajar Komputer

CARA CEPAT DAN MUDAH BELAJAR KOMPUTER DAN INTERNET

Belajar Komputer: Panduan untuk Pemula didalam Belajar Komputer